Rapormerah.com – Serikat Wartawan Media Online Republik Indonesia (SEKAT-RI) menyatakan kekecewaannya terhadap sikap Kapolda Sulawesi Selatan, Irjen Pol Andi Rian Ryacudu Djajadi, yang marah kepada salah satu wartawan media online terkait pemberitaan dugaan praktik pungutan liar (pungli) di Polres Bone.
Insiden ini memicu kontroversi karena dinilai bertentangan dengan semangat transparansi dan kebebasan pers yang diusung oleh Kepolisian Republik Indonesia.
Ketua Umum SEKAT-RI, Ibhe Ananda, mengungkapkan rasa geramnya terhadap tindakan Kapolda Sulsel yang dinilai tidak mendukung kerja wartawan yang menyoroti dugaan pungli.
Menurutnya, seharusnya Kapolda memberikan dukungan, bukan justru memarahi wartawan yang berupaya mengungkap kebenaran.
“Seharusnya Kapolda Sulsel mendukung wartawan tersebut yang menyoroti aktivitas dugaan pungli, bukan justru memarahinya. Inilah yang kami sesalkan,” ujar Ibhe Ananda dalam keterangan tertulis yang diterima Rabu (4/9/2024).
Ibhe menegaskan bahwa sikap Kapolda Sulsel ini berbanding terbalik dengan pernyataan Wakapolri dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang sebelumnya mendorong masyarakat untuk berani melaporkan dan mempublikasikan praktik pungli oleh oknum kepolisian.
“Pak Wakapolri pernah mengatakan bahwa jika melihat ada polisi yang melakukan pungli, maka rekam dan beritakan. Begitu juga dengan Pak Kapolri bilang bahwa jika ada warga yang mengkritik polisi dengan pedas, maka dia adalah sahabat Kapolri,” tegas Ibhe.
Namun, apa yang dilakukan Kapolda Sulsel justru menunjukkan sikap yang sebaliknya. Andi Rian Ryacudu dilaporkan marah kepada wartawan bernama Heri Siswanto dari media online setempat.
Kronologi Kapolda Sulsel Ngamuk
Insiden ini bermula ketika Heri Siswanto memberitakan adanya keluhan dari masyarakat terkait biaya penerbitan Surat Izin Mengemudi (SIM) A baru di Polres Bone yang mencapai Rp500 ribu. Heri mendapatkan informasi ini dari seorang warga yang batal mengurus SIM karena biaya yang dianggap terlalu tinggi.
Heri kemudian mengonfirmasi informasi tersebut dengan mewawancarai salah satu pemohon SIM A di Polres Bone, yang membenarkan bahwa biaya penerbitan SIM A baru memang mencapai Rp500 ribu.
Berita tersebut pun viral di media sosial, mengundang banyak tanggapan dari masyarakat yang merasa dirugikan dengan dugaan praktik pungli tersebut.
Namun, bukannya mendapat dukungan atas laporannya, Heri justru mendapat respons negatif dari Kapolda Sulsel. Dalam pembicaraan via telepon, Andi Rian memarahi Heri dan menuding pemberitaannya merusak citra institusi kepolisian.
“Dia (Andi Rian) marah-marah. Dia bilang, ‘Apa masalahmu dengan polisi? Mengapa kamu sering memberitakan yang miring-miring tentang polisi? Kamu tahu nggak kalau kamu memberitakan polisi, itu kamu menghajar institusi. Kamu juga kan yang ramai-ramai memberitakan BBM yang ditangani Polres Sidrap. Saya juga bingung apa maumu itu,’” ungkap Heri menirukan ucapan Kapolda.
Wartawan Kena Tekanan, Istri Jadi Korban
Tidak hanya berhenti pada teguran, Andi Rian juga menyinggung istri Heri yang bekerja di Polres Sidrap dalam percakapan tersebut. Beberapa hari setelah insiden itu, istri Heri, Gustina Bahri, dipindahkan tugas ke Polres Selayar, jauh dari tempat tinggal mereka sebelumnya.
Gustina bersama anak perempuannya yang masih berusia 4 tahun kini tinggal di rumah kost di Selayar, terpaksa meninggalkan kehidupan lama mereka di Sidrap, termasuk sekolah sang anak di TK Bhayangkari. Heri mengaku kecewa dengan apa yang dialami keluarganya akibat pekerjaannya sebagai wartawan.
“Saya katakan bahwa Polri sekarang sudah menjadi anti kritik,” kata Heri. “Lalu, masih adakah keadilan di negeri ini?”
Kebebasan Pers Terancam?
Tindakan Kapolda Sulsel ini dinilai mencoreng upaya Polri dalam memperbaiki citra mereka di mata publik. SEKAT-RI mendesak agar tindakan ini dievaluasi dan mendorong institusi kepolisian untuk bersikap lebih terbuka dan menghargai peran pers dalam mengawasi kinerja mereka.
“Kita berharap ini menjadi pembelajaran bersama bahwa wartawan memiliki peran penting dalam menjaga transparansi dan akuntabilitas publik. Jangan sampai kebebasan pers dikekang karena ketidaksukaan terhadap kritik,” tutup Ibhe Ananda.