Rapormerah.com – Seorang warga yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang di Pasar Baru Kabupaten Bantaeng meminta keadilan kepada Bidang Propam Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) setelah laporannya diduga mengalami banyak kejanggalan.
Laporan warga tersebut sudah dilakukan sebanyak dua kali, namun hingga kini belum ada kejelasan hukum.
“Saya berharap Propam Polda Sulsel segera bertindak, kami hanya masyarakat kecil dan awam yang tidak tahu masalah hukum. Saya sudah melaporkan dua kali kasus yang sama, yaitu dugaan tindak pidana penggelapan,” ujar Alvi Syahrini kepada awak media, Senin (23/09/2024).
Di hadapan awak media, Alvi mengungkapkan bahwa dirinya tidak berharap banyak. Ia hanya meminta haknya yang diduga digelapkan oleh terlapor.
“Saya hanya menuntut hakku dan saya tidak berharap, yang saya harap hanya keadilan seadil-adilnya. Sertifikat lost/kios yang saya beli seharga 180 juta dari Yunita Oktavia diduga digelapkan oleh kakaknya. Saya curiga mereka bekerja sama,” ungkapnya.
Alvi menyebutkan kejanggalan berdasarkan surat pemberitahuan perkembangan hasil penyelidikan (SP2HP) yang ditandatangani oleh Plt. Kasat Reskrim Polres Bantaeng, Ipda Syahruddin, pada 6 Agustus 2024.
Ia menilai banyak kejanggalan karena laporan polisi tentang dugaan penggelapan yang seharusnya ditangani oleh unit Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) malah ditangani oleh unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) serta Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Korban merasa sangat dirugikan karena hak dan keadilan yang diharapkan dari aparat penegak hukum (APH) di wilayah Kabupaten Bantaeng tak terlihat.
“Kasus ini diduga terindikasi permainan lantaran laporan yang saya buat di bulan Juni 2023 hingga saat ini belum ada kejelasan. Saya harap Propam Polda Sulsel turun melakukan penyelidikan di Polres Bantaeng agar keadilan dan pelayanan yang seharusnya ditampilkan bisa kembali dihadirkan,” ungkap Alvi.
SP2HP pengentian perkara terdaftar dengan nomor surat perintah penghentian penyelidikan nomor: SPPP/182/VIII/2024/Reskrim, tanggal 06 Agustus 2024 di Polres Bantaeng.
Dalam SP2HP tersebut, penyidik menjelaskan bahwa laporan yang sama sebelumnya telah dilaporkan dengan Laporan Polisi Nomor: LP.B/205/VI/2023/SPKT/Polres Bantaeng/Polda Sulawesi Selatan pada 08 Juni 2023 tentang dugaan Tindak Pidana Penggelapan.
Kejanggalan yang ada dalam SP2HP mencakup fakta bahwa LP.B/205/VI/2023/SPKT/Polres Bantaeng ditangani oleh PPA Polres Bantaeng. Penyidik juga menyarankan jika ada hal yang perlu ditanyakan atau ada masukan, bisa menghubungi penyidik Tipidkor Sat Reskrim Polres Bantaeng.
Korban mengungkapkan bahwa laporan pertamanya hingga kini belum ada kejelasan hukum, sedangkan laporan kedua yang dibuatnya dan didampingi oleh pengacara telah dihentikan. Upaya mediasi pengacara korban juga tidak menemukan titik temu.
“Kemarin saya didampingi pengacara, dan pengacara sudah melakukan mediasi. Namun, pada saat itu, pengacara menawarkan dua pilihan: Jika ingin mendapatkan kembali sertifikat lost tersebut, saya harus membayar ke kakak Yunita sebesar 130 juta, atau saya akan diberikan uang pengganti 100 juta dengan syarat sertifikat yang saya pegang diserahkan kepada kakak Yunita. Namun, saya menolaknya.” ungkapnya
Kronologi Dugaan Penggelapan
Peristiwa berawal dari transaksi jual beli lost atau kios penjual di dalam Pasar Baru Kabupaten Bantaeng antara Alvi sebagai pembeli dan Yunita Oktaviani sebagai penjual, dengan kesepakatan harga sebesar Rp. 180 juta dalam dua kali pembayaran.
“Kami sepakat lost milik Yunita saya beli dengan harga 180 juta, dengan pembayaran pertama sebesar 130 juta pada 5 November 2019, dan sisanya saya tahan karena sertifikatnya masih di bank,” ujarnya.
Setahun kemudian, Alvi didatangi pegawai Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang memberitahu bahwa tempat yang digunakannya akan disita karena pemiliknya tidak mampu membayar sisa utang.
“Setahun setelah saya bayar 130 juta ke Yunita, pegawai bank meminta saya untuk mengosongkan tempat ini karena akan dilelang karena sisa utang Yunita di bank 50 juta sudah tidak bisa diselesaikan.” ujarnya.
Alvi menjelaskan bahwa ia meminta pegawai bank untuk berkoordinasi dengan Yunita tentang pelunasan sisa utang tersebut.
Setelah melunasi utang bank Yunita, Alvi meminta sertifikat kios, namun pegawai bank menjelaskan bahwa sertifikat tersebut berkaitan dengan sertifikat rumah yang dijadikan jaminan.
“Jadi sertifikat yang saya lunasi bisa didapatkan ketika Yunita melunasi utang yang satu,” jelasnya.
Dikatakannya, pada saat pelunasan, kakak dari terlapor melunasi sisa utang adiknya di BRI, tetapi Alvi mengira ia yang melunasi lost yang dibeli dari Yunita.
“Kakak Yunita menahan sertifikat tersebut, dengan alasan dia yang melunasi sertifikat lost,” ungkapnya.
Ironisnya, terlapor dan suaminya diduga mengancam Alvi dengan cara akan menjual kios tersebut kepada orang lain.
“Yunita dan suaminya mau menjual kios ke orang lain dan akan memberikan saya uang pengganti 100 juta, dengan syarat mereka ingin mengambil dua kios,” kata Alvi.
“Jadi sebelum kios yang saya beli ini bermasalah, saya dan Yunita pernah bertransaksi pembelian kios dengan harga 150 juta dan saya juga sudah balik nama,” pungkasnya.
(RM/RD)