Metro

“Perempuan Penari Janger”, Ketika Puisi Menari di Panggung Tebet Eco Park

×

“Perempuan Penari Janger”, Ketika Puisi Menari di Panggung Tebet Eco Park

Sebarkan artikel ini
"Perempuan Penari Janger", Ketika Puisi Menari di Panggung Tebet Eco Park
Perempuan Penari Janger

Rapormerah.com – Puisi tak lagi sekadar untaian kata. Di tangan penyair Ni Made Sri Andani, puisi berubah menjadi gerak, irama, dan suasana yang hidup.

Karya berjudul “Perempuan Penari Janger” ditampilkan memukau dalam parade baca puisi Penyair Perempuan Merah Putih di ruang publik Tebet Eco Park, Jakarta Selatan, Minggu sore (27/4/2025).

Acara ini digelar oleh Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) dan didukung oleh Suku Dinas Kebudayaan Jakarta Selatan serta komunitas Jagat Sastra Milenial (JSM), dalam rangka memperingati Hari Kartini 2025.

Dalam pementasan tersebut, puisi “Perempuan Penari Janger” tampil bukan hanya sebagai bacaan, melainkan sebagai pengalaman menyeluruh.

Dibuka dengan potongan tembang Janger, puisi ini mengisahkan sosok penari yang hadir di panggung terbuka Ubud, Bali. Gerak tubuhnya, lirikan matanya, hingga lengkung jemarinya menyatu dengan irama gamelan—membuat puisi ini terasa menari di benak penonton.

“Puisi ini saya tulis sebagai bentuk apresiasi terhadap perempuan yang mengekspresikan jiwanya melalui seni tari, bukan sekadar simbol emansipasi,” ujar Ni Made Sri Andani saat dihubungi kontributor Lasman Simanjuntak di Jakarta, Selasa (29/4/2025).

Dalam puisinya, Andani tak hanya menggambarkan tarian secara visual, tapi juga memasukkan langsung potongan tembang tradisional Janger yang menyuarakan suasana desa, keterampilan perempuan, serta kehangatan kolektif seni Bali. Salah satu contoh tembang Janger yang disajikan:

Kaja-kaja luas ke gunung (2x)
Meli gendèr, meli gendèr maimbuh suling
Kadèn saja Imbok Nyoman bisa nunun (2x)
Nunun songkèt, ngendek, nyatri, manguliying
Sriag sriog ngiring mejangèran di jaba tengahè
Sriag sriog sriag sriog sambilang megendang-gending

Potongan ini bukan hanya memperkuat suasana puisi, tapi juga memperkenalkan kekayaan tradisi nyanyian dan tari Janger kepada penonton, khususnya yang berasal dari luar Bali.

Puisi ini juga menyiratkan kisah sunyi seorang lelaki yang menaruh cinta kepada sang penari—sebuah cinta yang diam, tak tersampaikan, larut dalam denting kendang dan cahaya panggung:

“Ia menyimpan rindu, menyulam harap di antara setiap ketukan kendang dan gemerincing ceng-ceng. Bilakah aku dapat mempersunting penari hatiku?”

Namun harapan itu tenggelam, sebab sang penari seolah sedang menari bersama langit dan bumi—tak menyadari ada cinta yang menanti di sela-sela bait.

Dengan dukungan visual, pembacaan ekspresif, dan latar suasana terbuka nan alami, puisi “Perempuan Penari Janger” menjadi lebih dari pertunjukan sastra. Ia menjelma sebagai penghormatan terhadap seni tari Bali sekaligus kekuatan ekspresi perempuan dalam budaya.

Di Tebet Eco Park sore itu, puisi benar-benar menari.

Kontributor : Lasman Simanjuntak/Raden
Follow Berita rapormerah.com di news.google.com